by Zaenal Arifin. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Minggu, 17 Juli 2011

Jual Beli Saham dan Obligasi


MediaMuslim.InfoBukan perkara yang diragukan lagi bahwa jual beli saham dan obligasi banyak sekali terjadi dalam praktek muamalah manusia hari ini, bahkan merupakan amalan yang banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan bisnis. Karena itu maka kita akan bawakan dalam bahasan kita mulai dari definisi keduanya, perbedaan saham dan obligasi serta hukum jual beli keduanya.

Saham yaitu bagian dari modal pokok perusahaan, baik perusahaan perdagangan, property, ataupun perusahaan-perusahaan industri, Saham tersebut bisa berasal  dari pemilik perusahaan ataupun pihak lain yang mengadakan perjanjian kerjasama.  Setiap saham adalah komponen modal yang mempunyai nilai sama (sesuai dengan nilainya, pent).

Obligasi  adalah Surat perjanjian (pengakuan hutang) dari bank, perusahaan dan sejenisnya  kepada pemegangnya dengan waktu pelunasan tertentu pula, pada umumnya sesuai  dengan bunga yang ditetapkan dalam akad peminjaman antara perusahaan ,lembaga pemerintahan, atau perorangan. Terkadang sebuah perusahaan membutuhkan sejumlah harta (pinjaman) untuk perluasan usahanya, yang dapat dilunasi dalam waktu yang panjang, sedangkan tidak ada yang dapat memberikan pinjamaan, maka akhirnya perusahaan itu menawarkan obligasi sejumlah yang dibutuhkan kepada publik untuk membelinya, dengan memberikan bunga tertentu dalam satu tahun. Pemilik obligasi mengambil bunga tersebut sampai waktu tertentu (jatuh tempo), kemudian dikembalikan hartanya kepadanya, dan terus belaku kebiasaan muamalah dengan obligasi ini, dan dijadikan sebagai ajang jual beli antar individu, layaknya barang-barang dagangan, maka pembawa obligasi menjualnya kepada yang lain, kemudian dijualnya lagi kepada yang lain, begitu seterusnya.


Perbedaan Saham dan Obligasi
Saham menggambarkan sebagian dari modal pokok sebuah perusahaan. Pemilik saham dipandang sebagai pemilik sebagian asset dari perusahaan sesuai dengan kadar saham yang dia miliki. Adapun obligasi dipandang sebagai hutang perusahaan, maka perusahaan berhutang kepada pemilik obligasi tersebut.
Obligasi memiliki masa jatuh tempo untuk pelunsan hutang, adapun saham tidak memiliki kecuali ketika perusahaan tersebut dinyatakan dilikuidasi.
Keuntungan ataupun kerugian pemilik saham tergantung dari prestasi perusahaan tersebut, tidak ada batasan khusus bagi keuntungan perusahaan, terkadang untung dengan keuntungan yang besar, dan terkadang rugi dengan kerugian yang besar. Pemilik saham sama-sama mengambil bagian dalam untung atau ruginya perusahaan. Terkadang mereka mendapatkan keuntungan yang besar ketika perusahaan mendapatkan laba yang besar. Dan terkadang pula mereka rugi ketika perusahaan itu jatuh. Maing-masing mereka menanggung bagian untung atau rugi.
Adapun pemilik obligasi dia memiliki bunga tetap yang dijamin ketika peminjaman, yang dapat dilihat dari surat obligasinya, bunga tersebut tidak bertambah dan tidak berkurang. serta tudak menggambarkan adanya kerugian. Apabila mereka misalnya meminjamkan (membeli obligasi) seharga 3 Junaih (ukuran mata uang mesir) bagi setiap 100 junaih. Kemudian perusahaan itu untung 10 junaih bagi setiap 100 junaih, maka mereka tidak akan mendapatkan lebih dari bunga yang telah ditetapkan baginya. Sedangkan bagi pemilik saham mereka akan mendapatkan 10 junaih dari setiap 100 junaih. Dan begitupun sebaliknya jika perusahaan itu jatuh dan rugi maka para pemilik obligasi akan tetap mendapatkan bunga yang telah ditetapkan baginya, disaat para pemikik saham tidak mendapatkan sedikitpun kuntungan bahkan mereka menanggung beban kerugian.
Ketika perusahaan dilikuidasi, maka kedudukan tertinggi ada pada pemegang obligasi karena dia merepresentasikan hutang perusahaan. Pemegang saham tidak memiliki hak atas harta perusahaan kecuali setelah ditunaikan semua hutang perusahaan. Bagi pemegang obligasi berhak untuk menuntut pengumuman kerugian perusahaan ketika perusahaan tersebut tidak bisa menunaikan kewajibannya (pailit).

Hukum Jual Beli Saham ada dua macam:
  • Saham pada perusahaan yang haram atau dari penghasilannya haram seperti dari bank-bank yang bermuamalah dengan riba atau perusahaan-perusahaan judi atau tempat-tempat keji, maka jual beli saham ini adalah haram, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala jika mengharamkan sesuatu, mengharamkan pula harganya, disamping itu dengan membeli sahamnya berarti dia telah melakukan kerjasama dalam perbuatan dosa, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS: Al Maidah: 2)
  • Saham pada perusahaan yang mubah seperti perusahaan-perusahaan dagang yang mubah atau perusahaan industri yang mubah, maka yang seperti ini dibolehkan menanam saham padanya, bekerja sama dengannya serta jual beli sahamnya, jika memang perusahaan tersebut telah diketahui dan dikenal serta tidak ada penipuan dan ketidaktentuan yang berlebihan padanya, karena saham itu adalah sebagian dari modal yang akan kembali kepada pemodalnya dengan keuntungan dari hasil perniagaan atau perindustrian, maka saham seperti ini adalah halal tanpa ada keraguan padanya.
Hukum Jual Beli Obligasi
Telah jelas dari keterangan yang lalu bahwasanya obligasi hakekatnya adalah peminjaman dengan membuahkan penghasilan atau bunga, karena obligasi adalah hutang perusahaan kepada pemilik obligasi yang berhak sebagaimana perjanjian untuk mendapatkan hasil tertentu dari pinjaman itu secara tahunan baik perusahaan itu untung atau rugi, maka dengan demikian ia masuk dalam lingkup transaksi riba, oleh sebab itu terbitnya obligasi sejak awalnya adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan syari’at, maka jual belinya tidak boleh secara syari’at dan bagi pemilik obligasi ini tidak boleh menjualnya.

Tapi bagaimana kalau seandainya obligasi itu berbentuk hutang yang sesuai dengan syari’at (tidak berbunga-pent) apakah boleh menjualnya?
Ini masuk dalam pembahasan menjual hutang dan itu dibolehkan jika menjualya kepada orang yang berhutang dengan syarat harus menerima gantinya di majlis (jual-beli) itu, dengan dasar hadits Ibnu Umar: Dulu saya menjual Unta di Baqi’ dengan uang dinar (uang dari emas), kemudian kami mengambil gantinya berupa dirham (uang dari perak), kemudian aku bertanya kepada Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam maka beliau menjawab, yang artinya: “Tidak mengapa jika kalian berpisah dalam keadaan tidak ada sesuatu diantara keduanya” (HR: Abu Dawud, Nailul Authar 5/157)
Adapun jika dijual kepada selain yang berhutang, maka pendapat yang kuat juga dibolehkan jika dijual dengan selain uang seperti beras, gandum atau mobil. Adapun jika dijual dengan uang maka tidak sah karena hakekatnya adalah menjual uang secara kontan dengan uang yang kredit padahal syarat sahnya penjualan seperti itu adalah harus saling menerima (taqabuth) uang pada satu majlis jika jenis uangnya atau mata uangnya berbeda dan jika satu mata uang maka ditambah syarat yang lain yaitu harus sama nilainya, maka obligasi itu tidak boleh dijual dengan harga yang lebih rendah, jika dengan harga yang berbeda maka terjatuh dalam riba fadl dan nasi’ah.

(Sumber Rujukan: Ar Riba Wal Mu’amalat Al Mashrafiyah, Karya Syaikh Dr. Umar bin Abdul Aziz Al Mutrak, hal 369-375)


Hukum Menyanyi dan Musik dalam Fiqih Islam

Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekularisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad dîn, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hal. 25). Dengan demikian, sekularisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.

2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13).

GOOGLE TRANSLATE

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF